Dalam pembelaan Stefanus di hadapan Imam Besar, Stefanus mengingatkan mereka kembali akan sikap orang Israel terhadap Musa yang diutus Tuhan untuk membebaskan mereka dari perbudakan Di Mesir. Bagaimana mereka terus menyakiti hati Tuhan dengan menolak utusan yang Allah telah berikan untuk memimpin mereka. Bahkan dalam ayat 42 tersirat kepedihan hati Tuhan tentang bagaimana kebaikan dan kasih sayang Tuhan kepada mereka, yang telah membebaskan mereka dari perbudakan kejam di Mesir, ternyata bukan saja tidak dibalas dengan persembahan syukur, tetapi mereka malah berpaling kepada ilah-ilah lain. Sampai akhirnya Tuhan harus menyerahkan mereka dalam pembuangan di Babel.
Dari bagian ini kita bisa melihat bagaimana bebalnya hati orang Israel. Kebaikan dan kemurkaan Allah atas diri mereka bukan saja tidak mereka hargai, bahkan mereka terus menyakiti hati Tuhan dengan meninggalkan Tuhan dan menyembah kepada dewa lain, bak pepatah mengatakan "air susu dibalas dengan air tuba." Lalu bagaimana dengan kita? Bukankah kita juga sering bersikap seperti orang Israel? Kita merasa tidak mungkin membalas kebaikan seseorang dengan kejahatan. Akan tetapi, sadarkah kita bahwa sebagai orang percaya yang telah begitu banyak mendapat pertolongan Tuhan, anugerah Tuhan, kasih sayang Tuhan, bahkan berkat Tuhan, kita masih sering menyakiti hati-Nya dengan berbuat dosa? Ketika kenyataan hidup tidak sesuai dengan pengharapan, bukankah kita sering kecewa kepada Tuhan dan meragukan kasih-Nya?
Bahkan, kemudian kita mencari pertolongan kepada hal-hal lain, sekalipun kita tahu, itu akan menyakiti hati-Nya. Bukankah ini juga dapat disebut sebagai sikap tidak tahu terima kasih? Marilah kita mengevaluasi sikap kita terhadap Allah. Ketika kita bisa menyadari betapa besarnya kasih Allah kepada kita, maka kita pasti tidak akan tergoda untuk menyakiti hati-Nya, atau bahkan meremehkan Tuhan dalam hidup. Sebagai anak-anak Tuhan, selayaknya kita menjauhi dosa, serta melayani Tuhan dan sesama penuh kasih.
Dari bagian ini kita bisa melihat bagaimana bebalnya hati orang Israel. Kebaikan dan kemurkaan Allah atas diri mereka bukan saja tidak mereka hargai, bahkan mereka terus menyakiti hati Tuhan dengan meninggalkan Tuhan dan menyembah kepada dewa lain, bak pepatah mengatakan "air susu dibalas dengan air tuba." Lalu bagaimana dengan kita? Bukankah kita juga sering bersikap seperti orang Israel? Kita merasa tidak mungkin membalas kebaikan seseorang dengan kejahatan. Akan tetapi, sadarkah kita bahwa sebagai orang percaya yang telah begitu banyak mendapat pertolongan Tuhan, anugerah Tuhan, kasih sayang Tuhan, bahkan berkat Tuhan, kita masih sering menyakiti hati-Nya dengan berbuat dosa? Ketika kenyataan hidup tidak sesuai dengan pengharapan, bukankah kita sering kecewa kepada Tuhan dan meragukan kasih-Nya?
Bahkan, kemudian kita mencari pertolongan kepada hal-hal lain, sekalipun kita tahu, itu akan menyakiti hati-Nya. Bukankah ini juga dapat disebut sebagai sikap tidak tahu terima kasih? Marilah kita mengevaluasi sikap kita terhadap Allah. Ketika kita bisa menyadari betapa besarnya kasih Allah kepada kita, maka kita pasti tidak akan tergoda untuk menyakiti hati-Nya, atau bahkan meremehkan Tuhan dalam hidup. Sebagai anak-anak Tuhan, selayaknya kita menjauhi dosa, serta melayani Tuhan dan sesama penuh kasih.
- Mengapa Stefanus menceritakan kisah Musa ini dalam pembelaannya di hadapan imam besar? Apa yang dapat kita pelajari dari sejarah bangsa Israel ini?
- Doakanlah agar kita diberikan hati yang tahu terima kasih, dan yang mau membalas cinta kasih Tuhan dengan hidup yang menyenangkan hati-Nya, Kitapun mampu hidup menunjukkan kasih itu kepada sekeliling kita. Tuhan memberkati.